Satu hakikat yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa makhluk hidup tidak bisa lepas dari induk di mana darinya dia berasal. Memang setiap makhluk berasal dari dua unsur: jantan dan betina, akan tetapi jika dibandingkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada salah satu unsur di atas maka kita dapatkan bahwa ketergantungannya kepada unsur betina lebih dominan.

Jika ketergantungannya kepada unsur jantan pada benih jantan yang membuahi, dan sisi ini juga diimbangi oleh betina pemilik telur yang dibuahi, maka sesudah itu bisa dipastikan bahwa makhluk hidup bisa terlepas dari ketergantungan kepada jantan tetapi tidak kepada betina, maka setelah pembuahan makhluk tersebut membutuhkan rumah aman yang menjamin pertumbuhannya sampai dia siap lahir sebagai penghuni baru alam semesta.





Selama itu segala kehidupannya bergantung kepada induknya dan setelah dia lahir dia tetap bergantung kepada susu induknya jika dia termasuk mamalia, jika tidak maka
dia bergantung kepada induknya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, induknya
mengajarinya berlindung dari bahaya, mengajarinya mencari makan, mengajarinya
kekhususan-kekhususan dasar yang dimilikinya dan sebagainya, dan pada semua itu
barangkali si jantan entah di mana keberadaannya.

Hakikat ini berlaku pula pada manusia walaupun terdapat beberapa sisi perbedaan namun secara prinsip tidaklah berbeda. Perbedaannya terletak pada adanya jalinan perkawinan sehingga dengannya terdapat tanggung jawab dalam bentuk perlindungan dan nafkah dari bapak kepada anaknya dan karenanya anak bergantung kepadanya dalam hal tersebut. Walaupun demikian jika dibandingkan dengan ibu maka kita bisa katakan bahwa ketergantungan anak kepadanya jauh lebih besar. Menggunakan perbandingan Rasulullah saw, ketergantungan anak kepada ibu adalah tiga perempat, sementara kepada bapak adalah sisanya yaitu seperempat, kurang dari setengah. Maka dalam hadits Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah Nabi saw mewasiatkan kepada seorang laki-laki agar berbuat baik kepada ibunya yang beliau tegaskan sebanyak tiga kali, baru pada kali keempat kepada bapaknya.



Dari Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.”
Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya,
“Kemudian siapa?” Rasulullah saw menjawab, “Kemudian bapakmu.” Sebagian ulama
berkata, “Hal itu karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak dimiliki oleh bapak: mengandung, melahirkan dan menyusui.” Firman Allah,

“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15). 2

Satu hakikat lagi yang tidak diperdebatkan oleh dua orang bahwa masa yang dibutuhkan oleh seorang anak untuk bisa mandiri atau masa kekanak-kanakan anak manusia lebih panjang daripada makhluk hidup yang lain, diawali dengan kehamilan, melahirkan dan menyusui terjalin ikatan emosional antara ibu dengan anak yang tidak ada duanya, ini artinya interaksi anak dengan ibu dalam fase-fase tersebut relatif lebih intens, karenanya anak banyak mengambil dan belajar dari ibu dalam masa-masa tersebut khususnya masa-masa balita dan sekolah dasar, lebih-lebih masa pra sekolah, ibunya yang melatihnya duduk, berdiri, dan berjalan, ibulah yang mendekap dan menggendongnya jika dia jatuh ketika berlatih berjalan, ibulah yang melatihnya berbicara, memanggil mama, papa, ibulah yang menyuapinya sekaligus melatihnya cara-cara makan, ibulah yang … dan seterusnya.



Hakikat inilah yang menjadi pijakan penulis untuk berkata, ibu adalah sekolah pertama. Ungkapan ini bukan milik penulis karena penulis bukanlah orang pertama yang mengatakannya. Seorang penyair berkata,

Ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya
Maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik

Penyair lain berkata,

Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan
Maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan

Ibu adalah sekolah pertama sementara pendidikan merupakan tanggung jawab bapak
sebagai penanggung jawab keluarga maka termasuk kewajiban bapak memilih sekolah
pertama yang baik bagi anaknya. Melihat betapa besar pengaruh sekolah pertama ini bagi anak maka Islam menganjurkan memilih sekolah pertama yang baik dan menganjurkan bahkan melarang memilih sekolah yang tidak baik. Ketika Nabi saw menyodorkan empat perkara yang menjadi alasan seorang wanita dinikahi maka beliau menganjurkan memilih wanita dengan kriteria keempat yaitu pemilik agama.

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara:
hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah pemilik agama niscaya
kamu beruntung.” (Muttafaq alaihi).



Salah satu tujuan pernikahan adalah lahirnya anak keturunan yang shalih, dan peluang keshalihan anak keturunan akan tetap terbuka jika sekolah pertama bagi anak shalih pula. Kamu tidak akan memanen anggur dari duri, jangan berharap air dari api dan orang yang tidak memiliki tidak mungkin memberi. Dari sini penulis memahami bahwa di antara hikmah mengapa menikahi wanita musyrikah tidak diizinkan bahkan –menurut salah satu pendapat di kalangan para ulama dan ini insya Allah yang rajih- menikah dengan wanita pezina juga tidak diizinkan. Untuk yang pertama al-Qur`an berkata,

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221). Untuk yang kedua al-Qur`an berkata,

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (An-Nur: 3).

Menurut Anda apa yang diberikan ibu sebagai sekolah pertama kepada anaknya jika dia
wanita musyrik atau pezina? Anda pasti tahu. Kata orang Arab, bejana memberi rembesan sesuai dengan isinya. Hikmah ini dikatakan secara nyata oleh al-Qur`an ketika ia melarang menikahi wanita musyrikah.

“Mereka mengajak ke neraka.” (Al-Baqarah: 221). Jika orang-orang musyrik termasuk
wanitanya yang menyeru ke neraka maka para pezina termasuk wanitanya menyeru kepada
zina, lalu apa harapan Anda darinya?



Karena ibu adalah sekolah pertama maka dia dituntut memiliki kemampuan-kemampuan
dasar agar mampu memerankan fungsinya secara positif dan berarti kepada anaknya. Di
antara kemampuan-kemampuan tersebut adalah:
1. Kemampuan dasar agama khususnya yang berkaitan dengan ibadah-ibadah praktis
sehari-hari seperti wudhu, adab buang hajat, doa sehari-hari dan sebagainya.
2. Kemampuan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung) disertai pengetahuan
tentang metode pengajarannya kepada anak.
3. Kemampuan dasar bermain yang edukatif karena dunia anak adalah dunia bermain dan
tidak semua permainan memiliki nilai positif, di sini ibu yang memilah.
4. Pengetahuan dasar-dasar akhlak yang baik dan metode penamaannya pada anak.
5. Pengetahuan dasar tumbuh kembang anak dan faktor penunjanganya. Hal ini untuk
mengoptimalkan pertumbuhan anak sehingga dia menjadi anak yang sehat karena
kesehatan fisik menunjang perkembangan sisi-sisi anak yang lain.

Apapun ibu sebagai sekolah pertama dengan nilai-nilai positifnya tidak terwujud dengan baik tanpa kesediaan dari ibu itu sendiri, di mana ibu menomorduakan urusan anak dengan lebih mementingkan urusannya yang lain. Indikasi dari hal ini tercium manakala ibu lebih cenderung bersibuk diri di luar rumah dan menyerahkan anaknya kepada orang lain, pembantu atau nenek. Alasan karir atau pekerjaan adalah faktor pemicu utama, padahal jika para ibu mau jujur dalam membandingkan maka dia akan melihat bahwa keuntungan yang diperoleh dari karirnya lebih rendah dibanding dengan kerugian akibat dia meninggalkan anaknya bersama orang lain. Bagaimana pun ibu tidak tergantikan, tidak oleh nenek lebih-lebih pembantu. Dari sini maka agama Islam menyerukan kepada wanita muslimah agar tidak meninggalkan pos yang sangat membutuhkannya dengan tetap di rumah.

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (Al-Ahzab: 33).

Seruan tetap di rumah yang disuarakan Islam sejak hari kelahirannya ini bersambut gayung dengan ajakan dari beberapa kalangan yang berpikiran obyektif lagi positif di zaman ini kepada para wanita khususnya para ibu agar kembali ke rumah. Ajakan ini disuarakan dari beberapa kalangan negara di barat setelah mereka merasakan pahitnya resiko dari meninggalkan anak-anak dengan keluar rumah. Mereka mengakui nilai-nilai positif dari seruan Islam kepada para wanita agar tetap di rumah. Dan keutamaan adalah apa yang diakui oleh musuh. Adakah ibu muslimah mengambil pelajaran?